Senin, 10 Januari 2011

Melihat Sejarah Bonekmania dan Aremania

Dalam beberapa dekade terakhir, sudah menjadi keputusan yang lumrah dikeluarkan petugas keamanan dalam hal ini polisi untuk memblokade gelombang suporter sepakbola saat terjadi pertandingan super big match di Indonesia, khususnya suporter tim tamu.

Alasannya, untuk menjaga ketertiban, kelancaran dan keamanan pertandingan atau kota. Misalnya saja pertandingan Arema Vs Persebaya, Persebaya Vs Persela, Persija Vs Persib Bandung serta beberapa pertandingan penuh gengsi lainnya yang berlatar belakang kurang mengenakan bagi suporter kedua tim.


Sudah jelas, pada partai-partai tersebut, suporter tim tamu akan mendapat himbauan keras agar tidak hadir di kota tim tuan rumah, apalagi sampai di stadion. Kalau tidak, jelas akan rawan aksi brutal atau anarkis yang sulit dikendalikan pihak keamanan. Apalagi, budaya dan tingkat kedewasaan suporter Indonesia terbilang masih sangat rendah dalam menerima hasil pertandingan yang berakhir pahit.

Tapi saya heran, pada beberapa pertandingan-pertandingan big match lainnya yang juga mempertemukan dua tim kuat, dengan dukungan suporter kedua tim yang juga terkenal fanatik, masih ada yang bisa happy ending alias lancar, tertib, damai bahkan jauh dari kesan anarkis.

Misalnya saja pertandingan Arema melawan Persela Lamongan, Arema melawan Persija dan Persebaya melawan Persik Kediri. Meski berlangsung keras, toh pertandingan tersebut bisa berjalan lancar tanpa ada kendala yang berarti. Bahkan, suporter kedua tim juga tampak damai, saling berangkulan di dalam stadion dalam mendukung tim kesayangannya.

Nah, hanya suporter yang memiliki tingkat kedewasaan tinggi saja yang ingin merubah budaya benci menjadi kedamaian. Dan saya lihat, sebenarnya semua suporter memiliki potensi itu. Potensi merubah budaya kebencian menjadi perdamaian.

Sebab sampai saat ini, pendukung Persebaya alias Bonek yang terkenal keras, bersama pendukung Persib alias Viking, Persekabpas alias Sakeramania dan Persikmania (pendukung Persik Kediri), masih tetap harmonis dan terjaga. Begitu juga Aremania bersama The Jak, LA Mania.

Memang, awal kebencian beberapa suporter dipicu akibat sejarah kelam kedua tim saat bertanding away sehingga berkesinambungan di laga-laga selanjutnya. Perlakuan yang kurang memiliki kesan damai, baik kepada tim maupun suporter, menjadi faktor aksi balas dendam.

Tapi kalau boleh jujur, saya juga sependapat dalam tulisan tentang “Ini Resep Mendamaikan Suporter Jatim” oleh Oryza A. Wirawan pada tanggal 4 Januari lalu bahwa tidak ada manfaat lebih bagi daerah masing-masing dari perseteruan suporter jika kebanggaan itu berakhir dengan sifat yang destruktif.
Malahan, dalam hal ini klub sudah pasti akan merasa dirugikan akibat sanksi. Akibatnya, klub akan mengeluarkan anggaran lebih untuk membayar denda. Belum lagi, klub juga akan dikenai denda larangan main di kandang sendiri di laga selanjutnya atau bermain tanpa penonton. Tentunya, selain mengeluarkan biaya lebih, klub juga terancam tidak akan mendapat pemasukan dari hasil penjualan tiket penonton.

Nah, berkaca dari itu semua. Saya yakin, dari dalam hati semua suporter Indonesia yang paling dalam, juga memiliki cita-cita perdamaian, menghentikan perselisihan dengan melupakan sejarah kelam.
Dan untuk membuka lembaran baru sejarah perjalanan suporter Indonesia itu, momen yang paling tepat adalah pada laga super big match antara Persebaya melawan Arema Malang pada Sabtu (16/1/2010) lusa di Stadion Gelora 10 November.

Perdamaian kedua suporter yang terkenal tak akur selama ini, pantas menjadi tonggak kebangkitan suporter Indonesia. Bahkan, cukup layak menjadi catatan tinta emas sejarah sepakbola Indonesia. Dan dari kebangkitan ini, Insya Allah kedatangan suporter untuk mendampingi tim kesayangannya ke daerah lain, kedepan tidak akan diharamkan lagi.

Memang, mengkoordinir puluhan ribu massa tidak bisa seperti membalik telapak tangan. Apalagi di tingkat elemen terbawah yang memang sulit dikendalikan. Dan kali ini, saya ingin mengambil contoh dari apa yang sudah dilakukan beberapa suporter yang hingga kini masih bersahabat dan harmonis tanpa mengurangi kaidah-kaidah dalam tulisan “Ini Resep Mendamaikan Suporter Jatim”.

Ya, pada dasarnya. Bentuk silaturahmi dan perjamuan antar suporter menurut saya bisa melebur kebencian menjadi persaudaraan. Kita ambil contoh saja, ketika Bonek ke Bandung, mereka juga mendapat sambutan luar biasa dari suporter Bandung alias Viking, meski lawan yang dihadapi bukan tim kebanggaannya. Mulai lokasi menginap dan konsumsi juga disediakan selama mereka di Bandung. Dan itu juga terjadi sebaliknya saat Viking berada di Surabaya.

Nah, kalau bisa meniru hal itu, tidak mustahil pada laga Persebaya melawan Arema, Aremania bisa hadir di Gelora 10 November ataupun sebaliknya Bonek di Kanjuruhan.

Teknisnya pada langkah awal, kuota suporter yang hadir juga tidak boleh lebih dari 100 orang, mengingat kapasitas stadion dengan fanatisme penonton. Lalu, budaya menyambut kedatangan suporter yang telah terkoordinir hingga penjamuan di markas suporter tim tuan rumah bisa menjadi tradisi baru demi rasa persaudaraan.

Selain itu, hal ini juga bisa memberi kesan segan bagi suporter tamu jika mereka hendak berbuat ulah.
Bahkan, ini juga melatih suporter mana pun agar selalu terkoordinir.
Kalaupun ada suporter yang tidak terkoordinir datang, sesuai kesepakatan, tidak akan ada jaminan keamanan bagi suporter yang dianggap liar. Bahkan, soal hal ini petugas keamanan bisa memulangkan jika terbukti bukan diantara 100 orang suporter seperti dalam kuota.

Nah, saya menyarankan, Bonek yang dulu terkenal dengan Bondo Nekat kini berganti Bondo dan Nekat, pantas disebut sebagai pelopor misi perdamaian ini jika bisa memberikan sambutan kepada Aremania yang ingin datang ke Surabaya dalam laga super big match nanti.

Tidak ada salahnya Bonek mengubur sejarah kelam demi meraih simpati saat akan datang ke Malang nanti pada laga away Persebaya. Mulai penyambutan sejak perbatasan masuk Kota Surabaya, penjamuan di markas Bonek hingga keberangkatan secara bersama-sama ke stadion akan menjadi pertunjukkan yang layak mendapat acungan empat jempol.

Di dalam stadion, selain hijau, juga ada biru. Nyanyian suporter pun saling sahut menyahut, tanpa ada unsur provokatif. Dan ini tentu saja tidak untuk Bonek saja, tapi saat Persebaya tandang ke Malang, Aremania juga wajib melakukan hal serupa. Istilahnya, bertamu harus ijin tuan rumah. Sebaliknya, sebagai tuan rumah, layak memberikan jamuan yang sepantasnya. Apalagi, dari segi geografis, Bonek dan Aremania adalah sama-sama suporter Jatim.

FIFA selalu mengkampanyekan sikap respect alias menghargai dalam setiap even dan pertandingan. Jadi, tidak ada salahnya kita juga bisa menghargai satu sama lain, khususnya sesama suporter.
Saya bukan Bonek dan saya juga bukan Aremania, tapi saya ingin melihat dua suporter paling fanatik di Indonesia ini bisa berdamai, duduk bersama dan menghijau-birukan stadion. Begitu juga dengan suporter lain, Aremania dan Sakeramania bersatu, Aremania dan Persikmania bersatu, Aremania dan Viking bersatu, Bonek dan LA mania bersatu, Bonek dan The Jak bersatu serta Viking dan The Jak bersatu.
Bahkan saya yakin, perdamaian Bonek dan Aremania dalam arti sesungguhnya, akan menjadi panutan suporter lain yang butuh banyak belajar dari Bonek dan Aremania. Damailah suporter Indonesia!.

0 komentar:

Posting Komentar